Secangkir Teh

DARI NIKOLAI IVANOVICH VAVILOV SAMPAI KE
TUBAGUS BACHTIAR RIFAI

Oleh : Made S. Prana



pic from: http://saso-dolenc.blogspot.com/2007/04/russian-indiana-jones.html


Ketika Nikolai Ivanovich Vavilov, ilmuwan terkemuka Rusia, menyimpulkan hasil kajiannya tentang asal usul tanaman budidaya setelah perjalanan panjang melanglang buana, tak pelak lagi Asia Tenggara ditetapkannya sebagai salah satu dari 8 pusat asal usul tanaman budidaya dunia. Istilah orisinilnya the Indo-Malayan Centre. Kriteria utama penetapan pusat-pusat itu adalah adanya keanekaragaman tanaman budidaya yang tinggi di masing-masing pusat tersebut. Meskipun pada kenyataannya pusat keanekaragaman suatu jenis tanaman tertentu tidak harus selalu identik dengan pusat asal usul dari tanaman yang bersangkutan.



Indonesia, sebagai bagian dari kawasan Asia Tenggara, jelas merupakan bagian terpenting dari pusat itu. Kajian lebih lanjut yang dilakukan oleh ilmuwan lain sesudahnya semakin mengukuhkan pernyataan Vavilov. Bahkan oleh salah satu tokoh keanekaragaman hayati, Indonesia diibaratkan sebagai “The Garden of Eden” karena keanekaragaman buah-buahannya, kecuali apel, yang sulit dicari tandingannya di dunia. Dengan semua kekayaan itu konon Indonesia pernah berjaya di masa silam. Katakanlah di jaman Majapahit atau Sriwijaya. Namun kekayaan itu pulalah yang telah mengantar bangsa ini ke neraka penjajahan.
Setelah kemerdekaan tercapai, yang konon merupakan jembatan emas menuju masyarakat yang adil dan makmur, melalui pembangunan tentunya, rakyat Nusantara tetap saja hidup bersahaja untuk tidak dikatakan melarat.
Banyak alasan (excuses) yang dijadikan kambing hitam sebagai penyebab keterpurukan bangsa ini. Salah satunya adalah dampak dari penjajahan yang berlangsung lebih dari 3,5 abad. Argumentasi itu mungkin ada benarnya, akan tetapi terlalu naïf rasanya untuk melimpahkan semua kesalahan hanya kepada si penjajah. Sejujurnya penjajahan era kini meskipun sifatnya halus dan tidak kasat mata mungkin jauh lebih dahsyat dampaknya daripada penjajahan fisik yang menimbulkan trauma.
Argumentasi lain adalah karena alam Indonesia terlampau ramah dan pemurah, subur kang sarwi tinandur (segala yang ditanam tumbuh subur), murah kang sarwi tinuku (segala yang dibeli, harganya murah), tongkat pun ditancap tumbuh jadi tanaman kata Koes Bersaudara, telah membuat bangsa ini menjadi manja. Suatu ungkapan versi lain untuk tidak menyebut malas. Andaikan pernyataan itu benar, maka di belahan Nusantara yang alamnya tidak dapat dipandang ramah dan pemurah, yang berkarang, tandus dan gersang, logikanya kita akan menemukan sosok-sosok manusia Indonesia yang rajin, ulet, dan energik. Nyatanya juga tidak demikian. Bahkan ada kesan bahwa dinamika dan mobilitas penduduk di daerah-daerah seperti itu justru (maaf beribu maaf) rendah. Ini mungkin juga terkait dengan pasokan energi yang tidak/kurang memadai. Maklum makanan juga serba sulit.
Sementara itu asumsi faktor etnis yang menjadi penyebab keterpurukan Indonesia, sepertinya kini sudah tidak relevant lagi. Malaysia yang dimotori etnis yang sama, yaitu Melayu, ternyata kini sudah benar-benar melayu, istilah Jawa yang berarti lari, dan melesat meninggalkan Indonesia sambil membawa segelintir saudara serumpunnya, MNI, meskipun sekedar sebagai pembantu.
Apa gerangan yang salah dengan negeri ini? Sebuah anecdote tentang orang Uganda, barangkali menurut versi orang Inggeris yang pernah menjajahnya, terkesan sederhana namun mengandung makna yang sangat dalam, mungkin bisa membantu menguak kabut hitam kelam yang menyelimuti bangsa kita. Menurut yang empunya cerita, konon ketika Tuhan bermurah hati memberikan pilihan kepada orang Uganda Tuhan berseru “ Hai kamu bangsa Uganda, kau lihat di tangan kananku ada pisang dan di tangan kiriku ada otak. Pilihlah salah satu yang kamu mau, pisang atau otak”. Maka tanpa berpikir panjang, secara spontan mereka pun memilih pisang”. Dan konon sejak itu pula pisang berlimpah di negara itu sehingga dijadikan makanan pokok penduduk setempat. Konsekuensinya tentu mudah ditebak, kegiatan pikir memikir menjadi masalah. Anecdote itu sungguh sangat menyakitkan, terutama bagi orang Uganda (juga kita yang simpati). Akan tetapi bila diambil hikmahnya, sebenarnya humor itu telah menyadarkan orang Uganda, orang Afrika dan bahkan kita semua, tentang betapa pentingnya otak dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Kesalahan serupa (salah pilih) konon juga mengantarkan Kurawa ke jurang kehancuran kalah perang di Kuru Setra melawan Pandawa . Pasalnya mereka lebih memilih mendapatkan bantuan bala tentara dan alat perang yang kuat daripada merangkul Sri Krishna, penasehat yang arif dan bijaksana.
Pentingnya otak atau SDM dalam meniti kehidupan dan kelangsungan hidup (sustainability) sebagai individu, kelompok, bangsa dan bahkan umat manusia (human being) sudah menjadi rahasia umum. Semua pasti menganggap bahwa SDM itu penting, akan tetapi sikap dan komitmen dalam merealisasikannyalah yang tampak sangat berbeda-beda.
Otak atau tentu saja tidak harus diterjemahkan sebagai kecerdasan inteletual (IQ) semata, sebab belakangan diketahui pula pentingnya kecerdasan emosional (EQ), baik untuk jajaran pemimpin maupun yang dipimpin. Banyak di antara kita yang hanya siap memimpin dan tidak terlalu siap untuk dipimpin. Masala pun akhirnya kerap timbul karenanya. Akibatnya integritas tim (team work) tidak solid atau bahkan berantakan.
Bioteknologi menawarkan banyak peluang dan terobosan untuk bisa memanfaatkan khasanah/kekayaan sumberdaya hayati untuk kesejahteraan bangsa. Tetapi bioteknologi juga memiliki karakteristik synergisme dan pendekatan multidisiplin sebagai salah satu prasyarat. Artinya wajib adanya ciri profesionalisme, integritas, dan dinamika para pelaksananya, yaitu tim peneliti. Para anggota tim harus memiliki persamaan visi namun berbeda dalam kepakaran sesuai misi yang diemban. Di sini persamaan dan perbedaan sama pentingnya. Persamaan adalah sebuah berkah yang menjadi perekat, sementara perbedaan adalah anugerah yang berfungsi sebagai pengikat. Ibarat masakan, garam di laut asam di gunung bertemu dalam jambangan. Jadilah sayur asem yang nikmat dan menyegarkan. Perbedaan-perbedaan yang lain, kalaupun ada, jangan hendaknya diperrtentangkan. Semua itu toh juga karunia Tuhan yang harus disyukuri.
Tepat sekali slogan “Bersatu meningkatkan mutu” diangkat sebagai tema filosofis dan spiritual oleh Puslit Bioteknologi LIPI. Tema itu relevant tidak hanya untuk tahun ini melainkan berlaku sepanjang masa dan buat siapa atau organisasi apa saja. Dengan bekal itu, semoga saja bioteknologi mampu memberikan kontribusi maksimal kepada pembangunan nasional sebagaimana yang selama ini diharapkan, guna meningkatkan kesejahteraan bangsa dan negara sekaligus mewujudkan konsep pemanfaatan sumberdaya hayati secara lestari. Keanekaragaman genetik Indonesia yang berlimpah itu menunggu kreativitas tangan-tangan trampil untuk meramunya menjadi produk-produk unggulan guna menunjang pengembangan berbagai sektor pembangunan agar sebagai bangsa kita tidak dipandang bak tikus jatuh ke lumbung mati kelaparan.
Kerjasama dengan pihak luar dalam hal ini, terutama dengan negara-negara maju, tidak perlu dimunafikan sepanjang sifatnya saling menguntungkan (mutual benefit). Mereka bisa menikmati (bersama kita) benefit dari kekayaan sumberdaya genetik Indonesia, sedangkan kita bisa menimba pengetahuan (knowledge) dan bukan sekedar ketrampilan (skill) dari mereka. Kita perlu menguasai teknologi dan bukan sekedar teknik agar mampu terus berkreasi. Teknik pada saatnya akan kedalu warsa, mentok di ujung, sementara teknologi atau pengetahuan tentang teknik membuka terus peluang untuk berinovasi sesuai tuntutan dan perkembangan jaman, sesuai situasi dan kondisi.
Kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan itu adalah rohnya organisasi, tak peduli apapun bentuknya. Dengan semangat kebersamaan dan persaudaraan itu kita kamikan saya, dan kita kitakan kami. Dan kalau pada suatu saat nanti di antara kita kebetulan ada yang meraih prestasi luar biasa maka pernyataan “ I am proud of him/her. He/she is one of us!!!” akan terdengar sungguh sangat nyaring di telinga dan mengharukan di hati. Ini tentu sangat berbeda dengan ucapan “ Why him/her? Why not me?” yang lebih kerap terdengar dalam kehidupan sehari-hari. Itulah antara lain secuil cuplikan wejangan dari berbagai upaya serius dan sistematis untuk menggalang persatuan di lingkungan LIPI yang pernah dilakukan oleh Prof. Dr. Ir. Tubagus Bachtiar Rifai, salah seorang mantan Ketua LIPI yang disegani pada masanya.

Komentar