Terapi RNA, Terobosan Baru dalam Dunia Medis

Terapi RNA, terobosan baru dalam dunia medis
Dr Andi Utama
Peneliti Puslit Bioteknologi-LIPI

BANYAK sekali penyakit menular yang sampai saat ini belum ditemukan obat maupun vaksinnya. AIDS, misalnya, sampai saat ini belum ditemukan terapi dan vaksin yang efektif walaupun virus penyebabnya, HIV, telah ditemukan lebih dari 20 tahun lalu. Begitu juga hepatitis C. Interferon dan ribavirin adalah obat paling efektif pada saat ini, namun hanya menyembuhkan tidak lebih dari 50 persen pasien dan hanya efektif untuk virus genotipe tertentu.


Pada penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah yang menjadi masalah besar di Indonesia, kondisinya juga tidak berbeda. Malaria yang sudah dikenal sejak puluhan tahun lalu. Berbagai penelitian telah dilakukan, namun sampai saat ini masih belum ditemukan cara penanggulangan yang efektif. Begitu juga dengan penyakit demam berdarah dengue (DBD). Sampai saat ini belum ditemukan obat maupun vaksinnya. Padahal Indonesia adalah negara yang endemik terhadap kedua penyakit infeksi ini, sehingga diperlukan upaya untuk mencari solusinya.
Terapi RNA
Salah satu alternatif adalah dengan terapi RNA, yaitu memberantas agen penyebab penyakit dengan menggunakan RNA. Prinsipnya adalah sebagai berikut. Setiap gen (DNA) akan menghasilkan mRNA yang selanjutnya akan diproses menjadi protein yang akan berfungsi untuk replikasi dan perkembangbiakan suatu agen penyakit, termasuk virus atau bakteri. Jika RNA yang akan berikatan dengan mRNA bisa dirancang, otomatis proses mRNA menjadi protein akan terganggu. Akibatnya, protein tidak akan terbentuk sehingga agen penyebab penyakit tidak bisa berkembang biak. Kelebihan terapi RNA adalah tidak menimbulkan respons imun, yang terkadang muncul pada terapi kimia atau terapi menggunakan protein.
Pemikiran terapi RNA muncul pada tahun 1977-an, dimulai dengan penggunaan antisense RNA. Antisense RNA adalah RNA berbenang tunggal (single strain RNA) yang sekuennya berlawanan (complementary) dengan target mRNA. Antisense RNA akan berikatan dengan mRNA sehingga menghambat produksi protein dan perkembangbiakan agen penyakit (Gambar 1).
Pada saat itu, para ilmuwan sangat optimistis dengan keberhasilan terapi antisense RNA. Begitu juga banyak perusahaan farmasi, sehingga berani melakukan investasi untuk pengembangan terapi berbasis antisense ini. Maka pada tahun 1980-an, masa istilah "antisense drugs" cukup populer.
Gambar 1. Mekanisme antisense RNA (http://www.bio.davidson.edu/)

Sayang sekali aplikasi antisense RNA menemui kendala sehingga sulit diaplikasikan. Kendalanya adalah pada sistem penghantar (delivery system), yaitu sistem untuk mengintroduksi antisense RNA ke dalam sel. Akibatnya, harapan yang besar terhadap “antisense drugs” mulai menurun dan akhirnya hilang.

Terobosan siRNA
Sejak hilangnya harapan terhadap antisense RNA, harapan beralih kepada siRNA (small interfering RNA). SiRNA, sesuai dengan namanya, adalah RNA pendek yang terdiri atas 21-23 pasangan basa (base pair). RNA ini bisa mengakibatkan penguraian mRNA yang dinamakan interferensi RNA (RNA interference) yang biasanya disingkat dengan RNAi. Sama halnya dengan antisense RNA, gangguan ini mengakibatkan mRNA tidak bisa berubah menjadi protein (Gambar 2).
Namun, berbeda dengan antisense RNA yang merupakan RNA untai tunggal, siRNA adalah untai ganda yang relatif lebih stabil sehingga dalam aplikasinya siRNA bisa diintroduksikan baik dengan injeksi langsung maupun dengan mengkloningnya ke vektor pembawa seperti plasmid.



Fenomena RNAi ini pertama kali ditemukan pada cacing Caenorhabditis elegans lima tahun lalu. Tahun 1998, Andrew Fire dari Carnegie Institution of Washington bekerja sama dengan peneliti dari Johns Hopkins University dan University of Massachusetts Cancer Center, Amerika Serikat (AS), menemukan adanya respons terhadap RNA pasangan ganda (double-stranded RNA, dsRNA) yang mengakibatkan tidak berfungsinya gen yang spesifik terhadap sekuen barisan RNA tersebut (Fire dkk, 1998). Mereka membuktikan bahwa dsRNA dapat menghambat ekspresi gen unc-22, gen yang mengodekan protein pembentuk serat otot (myofilament) yang banyak ditemui dalam tubuh cacing C elegans.
Dari hasil penelitian selama ini dibuktikan bahwa siRNA lebih efektif dan spesifik dibandingkan dengan antisense RNA. Lebih dari itu, efek yang ditimbulkan oleh siRNA ini tidak hanya memberikan efek pada gen makhluk tersebut, tetapi bisa terjaga sampai pada keturunan berikutnya (F1). Fenomena RNAi ini kemudian ditemukan di berbagai makhluk hidup dan diperkirakan ada pada semua makhluk hidup.
Adapun fungsi alami dari siRNA ini adalah untuk regulator ekspresi gen, baik gen yang ada dalam tubuhnya sendiri maupun gen yang datang dari luar. Ini merupakan sistem pertahanan alami yang dimiliki setiap makhluk hidup. Penemuan ini menarik perhatian banyak ahli untuk mengaplikasikannya sebagai salah satu terapi untuk berbagai penyakit menular, terutama yang disebabkan oleh virus yang sudah diketahui keseluruhan gennya. Artinya, penggunaan siRNA yang spesifik dengan RNA suatu virus akan menghambat ekspresi RNA virus tersebut. Secara tidak langsung akan menghambat pula perkembangbiakan virus sehingga pasien akhirnya bebas dari infeksi virus.

Penemuan microRNA
MicroRNAs (miRNA) adalah RNA untai tunggal dengan panjang sekitar 21-23 nukleotida, yang mengatur ekspresi gen. miRNAs dikodekan oleh gen yang ditranskripsikan dari DNA, tetapi tidak ditranslasikan menjadi protein (non-coding RNA). Seperti pada Gambar 3, miRNA diproses dari transkrip primer yang dinamakan pri-miRNA menjadi struktur stem-loop pendek yang dinamakan pre-miRNA dan akhirnya menjadi miRNA yang fungsional. miRNA yang matang sebagian komplementari dengan satu atau lebih mRNA, dan fungsi utamanya adalah menekan ekspresi gen. Fenomena miRNA ini pertama kali ditemukan pada tahun 1993 oleh Lee dkk, tetapi istilah microRNA baru diperkenalkan tahun 2001.
Gen yang mengkodekan miRNAs jauh lebih panjang daripada miRNA yang matang (Gambar 3). Transkrip primer atau pri-miRNA memiliki kepala dan ekor poly-A yang diproses menjadi lebih pendek di dalam nukleus, yaitu menjadi struktur stem-loop dengan panjang 70 nukleotida yang dikenal dengan pre-miRNA. Pre-miRNA ini selanjutnya diproses menjadi miRNA yang matang di sitoplasma melalui interaksi dengan Dicer. miRNA kemudian membentuk kompleks dengan RNA-induced silencing complex (RISC). Kompleks ini yang akhirnya menghambat ekspresi gen.
Kebanyakan pre-miRNAs tidak memiliki untai ganda yang sempurna yang ditutupi oleh struktur bundar. Ada beberapa penjelasan mengenai hal ini. Pertama adalah RNA untai ganda yang lebih panjang dari 21 pasang basa mengaktivasi respon interferon dan mesin antivirus di dalam sel. Penjelasan lain adalah profil termodinamik dari pre-miRNA menentukan untai mana yang dilibatkan ke dalam komplek Dicer. Kenyataannya, Han dkk memperlihatkan kemiripan yang jelas antara pri-miRNA yang dikodekan di masing-masing demonstrated very clear similarities between pri-miRNAs yang dikodekan di masing-masing ujung-5’ atau ujung-3’.


Ketika Dicer melepaskan struktur stem-loop dari pre-miRNA, molekul RNA untai ganda pendek yang komplementari terbentuk, tetapi hanya satu diantaranya yang terintegrasi dengan komplek RISC. Untai ini dikenal dengan untai pemandu (guide strand). Sementara itu, untai lain yang dikenal dengan anti-guide atau passenger strand, diuraikan sebagai substrat komplek RISC. Setelah terintegrasi ke dalam komplek RISC yang aktif, miRNA berpasangan dengan dengan mRNA yang komplementari dengannya, dan akhirnya menyebabkan degradasi mRNA.

Fungsi miRNA di dalam sel

Fungsi miRNA adalah pada regulasi ekspresi gen. Untuk menjalankan fungsinya, sekuen miRNA harus komplementari dengan sekuen sebagian mRNA. Pada hewan, miRNA biasanya komplementari dengan bagian 3’-untranslated region (3’-UTR), sedangkan pada tanaman biasanya komplementari dengan coding-region dari mRNA. Ikatan (annealing) miRNA dengan mRNA ini akhirnya menghambar translasi protein, tetapi terkadang menfasilitasi degradasi mRNA. Proses ini diperkirakan model aksi yang utama pada miRNA tanaman. Pembentukan untai ganda RNA melalui ikatan miRNA ini memicu degradasi mRNA, seperti yang terjadi pada proses RNAi. Namun pada kasus lain diperkirakan bahwa kompleks miRNA memblokir mesin translasi protein atau mencegah translasi tanpa degradasi mRNA.

Hubungan miRNA dengan penyakit

miRNA ditemukan berhubungan dengan beberapa penyakit. Salah satu contohnya adalah kanker. Studi pada mencit menunjukan bahwa miRNA memiliki efek terhadap pekembangan kanker. Mencit yang direkayasa untuk memproduksi miRNA dalam jumlah yang banyak di dalam sel limfoma menjadi kanker dalam waktu 50 hari dan mati 2 minggu berikutnya. Sementara mencit yang tidak menghasilkan miRNA bisa hidup lebih dari 100 hari. Studi lain menemukan bahwa dua miRNA menghambat translasi protein E2F1, yang mengatur proliferasi sel. miRNA sepertinya berikatan dengan mRNA sebelum terjadinya translasi.
Dengan mengukur aktivitas 217 gen yang mengkodekan miRNA, pola aktivitas gen dapat membedakan tipe kanker yang ada. Artinya miRNA dapat digunakan untuk klasifikasi kanker, yang memungkinkan dokter untuk menentukan tipe jaringan asli yang menyebabkan kanker dan memberikan terapi yang tepat berdasarkan tipe jaringan asli tersebut. Saat ini, profil miRNA telah bisa menentukan apakah pasien leukemia limfositik kronik memiliki kanker tipe agresif atau tidak (Calin dkk, 2007).
miRNA juga telah dibuktikan memiliki hubungan dengan penyakit jantung. Mencit yang direkayasa sehingga miRNA yang spesifik untuk otot jauh berkurang, memperlihatkan penyakit jantung umum dengan frekuensi yang tinggi. Mencit ini juga memperlihatkan gejala hiperplasia (peningkatan sel otot jantung yang mengakibatkan pembesaran jantung) dan aliran panas jantung yang tidak normal.

Terapi RNA
Baik anti-sense RNA, siRNA maupun miRNA memiki fungsi yang sama, yaitu menghambat translasi protein, yang diperlukan dalam berbagai proses pada berbagai organisme. Artinya, jika anti-sense RNA, siRNA, dan miRNA dirancang terhadap target tertentu seperti organisme patogen atau sel kanker, target tersebut bisa dibuat menjadi tidak berfungsi.

Untuk siRNA, telah diuji kemampuannya untuk menghambat perkembangbiakan beberapa virus. Glen A Lobun dan Bryan R Cullen dari Duke University Medical Center, AS, membuktikan bahwa siRNA yang dirancang untuk protein Tat dan Rev dari virus HIV berhasil memblokir ekspresi kedua gen tersebut secara spesifik (Lobun and Cullen, 2002). Sementara itu, grup penelitian yang dipimpin oleh Charles M Rice dari Rockefeller University, AS, berhasil menekan replikasi virus hepatitis C (HCV) dengan menggunakan siRNA yang ditargetkan terhadap enzim polimerase dari virus tersebut (Hsu et al, 2003). Karena enzim ini penting untuk replikasi virus, penghambatan ekspresi enzim secara otomatis akan menghambat replikasi virus HCV. Begitu juga gabungan grup penelitian dari Tokyo Medical and Dental University dan National Institute of Advanced Industrial Science and Technology, Jepang, juga berhasil menekan replikasi HCV dengan menggunakan siRNA yang spesifik untuk Internal Ribosome Entry Site (IRES), sekuen yang penting untuk inisiasi translasi mRNA menjadi protein (Yokota et al, 2003). Beberapa peneliti juga telah membuktikan bahwa siRNA dapat menghambat replikasi dan perkembangbiakan virus-virus lain seperti virus influenza (Ge et al, 2003) dan virus polio (Gitlin et al, 2002).

Sama halnya dengan siRNA, peluang miRNA untuk digunakan sebagai terapi berbagai penyakit juga tengah dipelajari. Pengontrolan aktivitas miRNA diharapkan bisa meringankan gejala penyakit. Saat ini dimungkinkan untuk mengembangkan produk terapetik berbasis miRNA, sehingga dapat meningkatkan atau menurunkan tingkat protein yang berperan dalam berbagai penyakit seperti kanker, penyakit jantung, penyakit infeksi, gangguan metabolisme dan apoptosis.

siRNA dan miRNA ini adalah hal yang relatif baru, sehingga banyak yang perlu dianalisa untuk bisa digunakan menjadi sesuatu yang bisa membantu pasien berbagai penyakit. Tentunya kita berharap agar terapi RNA ini bisa segera terealisasi.

Komentar