BIOTEKNOLOGI REPRODUKSI “KLONING” TINJAUAN ETIKA, SOSIAL DAN MORAL
Penulis: Syahruddin Said
Bioteknologi reproduksi akhir-akhir ini berkembang dengan sangat cepat, seiring dengan berkembangnya aspek sosial yang membutuhkan evaluasi dan pertimbangan cermat. Sejak diperkenalkan in-vitro fertilization (IVF) dan lahirnya Louise Brown hasil IVF 30 tahun yang lalu, membuktikan teknologi ini mampu membuat bentuk baru dalam suatu tatanan keluarga.
Jika IVF menggunakan spermatozoa dan sel telur dari kedua orang tuanya, maka anak yang lahir secara genetik berasal dari kedua orang tua tersebut.
Akan tetapi anak yang lahir dari donor inseminasi, secara genetik sama dengan ibu tetapi tidak dengan bapak, begitu pula sebaliknya jika anak yang lahir dari donor sel telur, maka secara genetik berhubungan dengan bapak tetapi tidak dengan ibu. Dan apabila baik spermatozoa maupun sel telur diperoleh dari donor, maka secara genetik anak tersebut tidak berhubungan dengan orang tuanya. Kelompok yang terakhir ini sama dengan yang terjadi pada adopsi anak dimana secara genetik sama sekali tidak berhubungan dengan kedua orangtuanya dan berbeda dengan yang mengandungkannya.
Menyimak cerita di atas, terlihat bahwa kemajuan teknologi reproduksi memungkinkan seorang anak lahir dan mempunyai lima orang tua: dari donor sel telur, dari donor spermatozoa, dari ibu yang mengandung, dan dari bapak dan ibu angkat. Bagaimana anak tersebut tahu yang mana orang tua sebenarnya? Suatu struktur sosial kompleks terjadi akibat aplikasi teknologi reproduksi tanpa pertimbangan cermat.
Cerita diatas akan semakin menjadi rumit dan semakin sulit dimengerti apabila struktur sosial dalam suatu keluarga atau kelompok hasil dari kloning. Dengan kloning, tidak hanya orang tua anak yang tidak jelas bahkan saudaranya dan sanak keluarga yang semakin tidak jelas. Ditambah lagi Bryan (1998) bahwa Kolata (1997) menyebutkan beberapa ahli reproduksi akan membuat embrio-embrio identik dari sel yang diambil dari embrio manusia tahap awal, pada tahap perkembangan embrio tertentu sebagian akan diimplantasikan dan sebagian lagi dibekukan (diawetkan) untuk digunakan kemudian. Ditambahkan bahwa akan dibuat kembar dua identik, kembar tiga atau kembar empat, dan memungkinkan untuk dibuat kembar dengan umur yang berbeda.
Lebih lanjut dikatakan bahwa beberapa ahli tidak keberatan apabila embrio monozigot (embrio yang dibuat dari satu sel telur) tersebut digunakan pada waktu yang sama. Akan tetapi muncul pertanyaan serius apakah seorang anak yang secara genetik identik lahir beberapa tahun kemudian masih saudara kandung? Bagaimana status moral anak tersebut?
Tanpa memahami prinsip dasar teknologi kloning rupanya sulit untuk memperdebatkan aspek sosial, etika, dan moral. Olehnya itu dalam artikel ini, penulis akan mencoba memberikan pemahaman dasar mengenai kloning dan beberapa point argumen yang berhubungan dengan etika, sosial, dan moral tersebut.
Bioteknologi Reproduksi
Teknik kloning embrio yang umum dikerjakan adalah transfer inti, yaitu menfusi inti yang diambil dari sel berbagai jaringan dengan sel telur tak berinti (Willadsen, 1986; Tsunoda, 1987).
Sel telur tak berinti diperoleh dengan mengeluarkan kromosom, atau juga dapat diperoleh dengan mengeluarkan pronuklei sel telur sesaat setelah fertilisasi. Smith dan Wilmut (1989) mengeluarkan inti dari sel telur dengan mengangkat seperempat bagian sitoplasma sel telur. Inti donor ini selanjutnya di masukkan ke perivitelin space, ruang kosong antara zona pelusida (pembungkus sel telur) dan sitoplasma, kemudian difusi dan diaktivasi dengan rangsangan listrik, virus atau secara kimiawi (Cheong et al., 1993; Prather, 1996).
Pada transfer inti, ooplasma sel telur diyakini berperan memprogram ulang atau menyusun kembali inti donor, dan selanjutnya mampu mengatur pertumbuhan embrio. Pemahaman tentang proses ini masih kurang lengkap, tetapi prinsip dasar mekanismenya sedang diklarifikasi.
Pada transfer inti, blastomer adalah inti yang umum digunakan, selain inti yang diperoleh dari sel fetus maupun dari sel dewasa. Inti blastomer embrio tahap 2-4 sel memiliki totipotensi, atau mampu merangsang pertumbuhan embrio dimana karakterisasi ini mungkin dibutuhkan untuk ekspresi khususnya gen termasuk non-spesifik alkalin pospat, Tnap, transkripsin faktor, Oct3/4, proto-oncogen, c-kit, dan DNA metiltransferase, Mt (Urven et al., 1993). Namun pada mammalia umumnya, blastomer digunakan pada tahap 8-16 sel atau lebih awal karena tahap selanjutnya kurang memiliki totipotensi.
Aplikasi Kloning
Walaupun masih sangat kompleks, kloning telah dikomersilkan pada tingkat peternakan, dimana ratusan anak sapi telah lahir (Bondioli, 1993). Suatu gen manusia untuk terapi protein, telah mampu diproduksi melalui ternak transgenik yang pertama kali dihasilkan pada domba yang diberi nama “Polly” (Nature, 1997). Hal ini terlihat bahwa kloning dapat dijadikan industri biologis yang dapat dimanfaatkan sampai pada pembuatan obat-obatan untuk keperluan manusia.
Keberhasilan pertumbuhan embrio pada sapi hasil klon kelihatannya kurang baik dibanding dengan embrio hasil IVF. Renard (1998) melaporkan bahwa sekitar 60% kloning blastomer berhasil bunting, dibandingkan 78% dengan IVF.
Selanjutnya Heyman et al. (1995) dan Lavoir et al. (1997) mengatakan bahwa kloning embrio sapi dari inti blastomer dibandingkan dengan IVF memiliki banyak heterogenous RNA, banyak sel-sel mati, tingkat kematian embrio tinggi, memperlihatkan bahwa program ulang atau penyusunan kembali DNA tidak sempurna.
Sebaliknya Kruip dan den Daas (1997) mengumpulkan 30 set data dari beberapa jenis sapi di seluruh dunia, memperlihatkan bahwa tingginya tingkat kenaikan berat lahir, distokia, dan kematian prenatal anak sapi hasil IVF dibandingkan dengan hasil transfer inti.
Kesuksesan kloning pada sapi diperoleh dengan menggunakan inti inner cell mass embrio. Sims dan First (1994) berhasil mentransfer 34 embrio tahap blastosis ke 27 resipien, menghasilkan 13 kebuntingan dan 4 lahir normal. Pada penelitian lain, dari 948 transfer inti menghasilkan 5% blastosis, 26 embrio tersebut ditransfer menghasilkan 6 kebuntingan. Dua abortus pada umur 60 hari kebuntingan, 2 lahir hidup, dan 2 lagi lahir mati. Seluruh yang hidup akhirnya mati setelah 15 hari kemudian. Pada domba, Smith dan Wilmut (1989) mentransfer inti blastomer 35% tumbuh sampai blastosis dan menghasilkan kebuntingan 4 dari 22 resipien (18%). Embrio yang diklon dengan sel batang tidak mampu tumbuh secara normal, adapun yang mampu tumbuh sampai blastosis lebih rendah dari 17%. Dari 34 blantosis yang ditransfer ke 7 resipien berhasil lahir 8 ekor, 3 mati sebelum lahir, 2 mati sesaat setelah lahir dan yang lainnya pada umur10 hari (Campbell et al., 1996). Lebih lanjut Wilmut et al. (1997) mengatakan bahwa kelahiran Dolly diikuti dengan kematian 62% (12/21) fetus, sangat jauh dibandingkan kematian akibat kawin alam hanya 6%.
Perkembangan lebih lanjut tentang teknik klon ini diperlihatkan dengan mampunya mengklon ulang embrio. Dengan teknik re-klon tersebut pada sapi telah diperoleh lebih dari 4 generasi, jumlah klon embrio tumbuh dari 1 menjadi 54 embrio morula identik (Stice and Keefer, 1993). Lebih lanjut dikatakan bahwa semakin tinggi generasi klon, tingkat fusi semakin rendah, dan tingkat perkembangannya paling tinggi pada generasi pertama dan ketiga. Pada generasi pertama, kedua, dan ketiga beberapa anak sapi berhasil lahir, tetapi kegagalan kebuntingan atau kehilangan janin terjadi pada seluruh generasi sehingga calving rate-nya menurun dari 10% menjadi 2-3% antara generasi pertama dan generasi ketiga.
Kembar Manusia Monozigotik merupakan Proses Kloning Alami
Kembar monozigotik (MZ) pada manusia terjadi secara alami 4 setiap 1000 kelahiran sebelum stimulasi ovarium dan aplikasi IVF di tahun 1970-an (Edwards and Beard, 1997). Sedangkan kembar dizigotik (DZ-kembar dari 2 zigot) bukan sifat menurun dan frekuensinya 4-16 setiap 1000 kelahiran, tergantung ras atau bangsa dan umur (Derom et al., 1993). Kembar MZ mungkin terpisah pada tahap 2-sel atau pada tahap menjelang implantasi. Namun Hardy et al. (1996) mengungkapkan bahwa terkadang ada 2 embrio manusia terbentuk dalam satu zona pelusida atau suatu embrio blastosis terdapat didalam embrio blastosis yang lain. Johnson et al. (1995) bahwa kembar pada tahap pembelahan awal embrio mungkin merupakan suatu konsekuensi daripada totipotensi sel blastomer mamalia.
Tingginya kejadian kembar DZ pada manusia terjadi ketika menstimulasi ovarium dan menggunakan IVF pada saat aplikasi teknik ovulasi ganda dan emrbio transfer (Edwards and Beard, 1997). Namun, menurut Edwards dan Brody (1995) bahwa zona pelusida embrio menjadi keras setelah dilakukan superovulasi dan akan mengganggu proses hatching, dan menurut Hardy et al. (1996) juga menyulitkan pada saat splitting blastosis embrio.
Kembar MZ tidak berbeda jauh dengan kloning inti embrio tahap preimplantasi dan memperlihatkan perkembangan yang sama. Machin (1996) menulis “walaupun benar banyak kembar MZ secara penotipe sama, terdapat jumlah yang signifikan dimana pasangan kembar MZ baik penotipe maupun genotipe tidak identik. Hall (1996) mengomentari bahwa itu merupakan pengecualian terhadap asumsi bahwa pasangan kembar MZ secara genetik identik.
Status Sosial, Etika dan Moral Kloning Manusia
Kloning adalah mekanisme biologi reproduksi partenogenesis satu atau lebih sel, organisme, secara genetik identik yang berasal dari satu tetua. Walaupun reproduksi dengan kloning telah meluas dikerjakan pada tanaman dan industri biologi, prestasi besar Wilmut et al. (1997) yang mengklon sel mammal domba dewasa dan secara konsekuen tumbuh dan berkembang menjadi seekor domba. Teknologi reproduksi ini telah membuka kemungkinan mereplikasi manusia tanpa melalui proses seksual. Meskipun pada kenyataannya bahwa dengan kloning beberapa masalah klinik misalnya embriogenesis, karsinogenesis (asal dari kanker reproduksi), dan penggunaan jaringan embrio untuk transplantasi, boleh terpecahkan, namun penggunaan teknlogi kloning sebagai metode reproduksi pada manusia akan menimbulkan masalah serius khususya pada aspek religius dan sosial.
Kloning manusia mendapat debat sosial, etika dan moral yang serius, hal ini sangat beralasan karena kloning akan mengakibatkan variasi genetik menurun. Berarti bahwa memproduksi banyak klon mengakibatkan suatu pupolasi sama sekali serupa. Populasi yang demikian akan memudahkan terjangkitnya penyakit yang sama, dan suatu penyakit akan mudah menghancurkan populasi tersebut. Pupolasi dimana keragaman genetiknya kurang, dapat dengan mudah dihilangkan dengan suatu virus tunggal, walaupun tidak secara drastis, tetapi peluang terjadinya besar. Mari kita melihat contoh pada suatu negara yang memiliki persentase sapi hasil klon besar, suatu virus, khususnya strain dari penyakit 'mad cow' dapat berpengaruh terhadap seluruh populasi. Selanjutnya mengakibatkan bencana kekurangan makanan di negara tersebut. Resiko lain yang mungkin timbul adalah penularan penyakit melalui ternak transgenik. Jika suatu ternak memproduksi obat dimana susunya terinfeksi virus, ternak ini akan memindahkan virus tersebut ke pasient yang menggunakan obat tersebut.
Beberapa penelitian kloning manusia pada akhirnya membutuhkan untuk dicoba pada manusia. Kemampuan mengklon manusia menunjukkan bahwa anak hasil kloning merupakan hasil tempelan genetik. Inti dari perdebatan kloning sebenarnya adalah apabila embrio manusia dimanipulasi sebelum ditumbuhkan. Dengan manipulasi embrio, memungkinkan peneliti akan merubah kode genetika seorang bayi untuk menjadikan individu dengan warna mata tertentu atau genetik yang tahan dengan penyakit tertentu atau dengan model yang lain sesuai dengan yang dikehendaki.
Klon pada domba dan kera menggunakan sel dewasa telah dilaporkan keberhasilnya. Keberhasilan mengklon primata, satu lagi pemacu debat masalah etika, sosial dan moral, karena semakin mendekatkan kemungkinan mengklon manusia. Presiden Clinton dalam hal ini juga telah mengeluarkan larangan dan tidak memberikan dana untuk penelitian kloning manusia. Beberapa negara juga telah mengeluarkan larangan serupa. Namun bagi kelompok pendukung teknologi kloning ini berpendapat bahwa kloning dapat dikontrol untuk memberikan keuntungan seperti pembuatan obat-obatan baru dan perlakuan terhadap berbagai penyakit.
Kesimpulan
Teknologi kloning akan berpengaruh secara langsung dan meluas terhadap sendi kehidupan manusia di muka bumi, sehingga dipandang perlu agar informasi tentang masalah ini sedapat mungkin dapat sampai dan dimengerti oleh segenap umat. Kelihatannya beberapa peneliti akan tetap ingin mewujudkan penasarannya untuk mengetahui banyak aspek tentang kloning tidak terlepas dengan kloning manusia, sebaliknya agamawan, sosialis, politisi bertentangn dalam hal ini. Kloning dengan penanganan yang tepat mampu memberikan kesejahteraan umat manusia dibumi ini, sebaliknya jika salah, maka bencana akan menghadang.
Sumber:
Bondioli, K.R. (1993) Nuclear transfer in cattle. Molecular Reproduction and Development, 36, 274-275.
Bryan, E.M. (1998) A spare or an individual? Cloning and the implications of monozygotic twining. Human Reproduction Update, 4(6), 812-815.
Campbell, K.H.S., Mc Whir, J., Ritchie, W.A. and Wilmut, I. (1996) Sheep cloned by nuclear transfer from a cultured cell line. Nature, 380, 64-66.
Cheong, H.T., Takahashi, Y, and Kanagawa, H. (1993) Birth of mice after transplantation of early cell-cycle stage embryonic nuclei into enucleated oocytes. Biology Reproduction, 48, 958-963.
Derom, C., Derom, R., Vlietinck, R. et al. (1993) Iatrogenic multiple pregnancies in East Flanders, Belgium. Fertility and Sterility, 60, 493-496.
Edwards, R.G. and Beard, H.K. (1997) Oocyte polarity and cell determination in early mammalian embryos. Molecular Human Reproduction, 3, 863-905.
Edwards, R.G. and Brody, S.A. (1995) Principles and practice of assisted human reproduction. W.B.Saunders, Philadelphia, USA.
Hall, J.G. (1996) Twinning: mechanisms and genetic implications. Current Opinion Genetic and Development, 6, 343-347.
Hardy, K., Warner, A., Winston, R.M.L. and Becker, D.L. (1996) Expression od intracellular junctions during preimplantation development of the human embryo. Molecular Human Reproduction, 2, 621-632.
Heyman, Y., Degrolard, J., Adenot, P. et al. (1995) Cellular evaluation of bovine nuclear transfer embryo development in vitro. Reproduction, Nutrition and Development, 35, 713-723.
Johnson, W.H., Loskutoff, N.M., Plante, Y. and Betteridge, K.J. (1995) Production of four identical calves by the separation of blastomeres from an in vivo derived 4-cell embryo. Veterinary Record, 137, 15-16.
Kruip, Th.A.M. and den Daas, J.H.G. (1997) In vitro produced and cloned embryos: effects on pregnancy, parturition and offspring. Theriogenology, 47, 43-52.
Lavoir, M.C., Kelk, D., Rumph, N. et al. (1997) Transcription and translation in bovine nuclear transfer embryos. Biology of Reproduction, 57, 204-213.
Machin, G.A. (1996) Some causes of genotypic and phenotypic discordance in monozygotic twin pairs. American Journal of Medicine and Genetic, 61, 216-228.
News in Brief (1997) Polly joins Dolly in the record books. Nature, 388, 414.
Prather, R.S. (1996) Progress in cloning embryos from domesticated livestock. Proceeding of Society, Biology and Medicine, 212, 38-43.
Renard, J.P. (1998) Cloning in animal biology and research. In Shenfield, F. (ed) Societal, Medicine and Ethical Implications of Animal Cloning. European Commission Press, Brussels.
Smith, L.C. and Wilmut, I. (1989) Influence of nuclear and cytoplasmic activity on the development in vivo of sheep embryos after nuclear transplantation. Biology of Reproduction, 40, 1027-1035.
Stice, S.L. and Keefer, C.L. (1993) Multiple generational bovine embryo cloning. Biology of Reproduction, 48, 715-719.
Tsunoda, Y., Yasui, T., Shioda, Y. et al. (1987) Full term development of mouse blastomere nuclei transplanted into enucleated two-cell mouse embryos. Journal of Experimental Zoology, 242, 147-151.
Urven, L.E., Weng, D.E., Schumaker, A.L. et al. (1993) Differential gene expression in fetal mouse germ cells. Biology of Reproduction, 48, 564-574.
Willadsen, S. (1986) Nuclear transplantation in sheep embryos. Nature, 320, 63-65.
Wilmut, I., Schnieko, A.E., McWhir, J. et al. (1997) Viable offspring derived from fetal and adult mammalian cells. Nature, 385, 10-13.
Bioteknologi reproduksi akhir-akhir ini berkembang dengan sangat cepat, seiring dengan berkembangnya aspek sosial yang membutuhkan evaluasi dan pertimbangan cermat. Sejak diperkenalkan in-vitro fertilization (IVF) dan lahirnya Louise Brown hasil IVF 30 tahun yang lalu, membuktikan teknologi ini mampu membuat bentuk baru dalam suatu tatanan keluarga.
Jika IVF menggunakan spermatozoa dan sel telur dari kedua orang tuanya, maka anak yang lahir secara genetik berasal dari kedua orang tua tersebut.
Akan tetapi anak yang lahir dari donor inseminasi, secara genetik sama dengan ibu tetapi tidak dengan bapak, begitu pula sebaliknya jika anak yang lahir dari donor sel telur, maka secara genetik berhubungan dengan bapak tetapi tidak dengan ibu. Dan apabila baik spermatozoa maupun sel telur diperoleh dari donor, maka secara genetik anak tersebut tidak berhubungan dengan orang tuanya. Kelompok yang terakhir ini sama dengan yang terjadi pada adopsi anak dimana secara genetik sama sekali tidak berhubungan dengan kedua orangtuanya dan berbeda dengan yang mengandungkannya.
Menyimak cerita di atas, terlihat bahwa kemajuan teknologi reproduksi memungkinkan seorang anak lahir dan mempunyai lima orang tua: dari donor sel telur, dari donor spermatozoa, dari ibu yang mengandung, dan dari bapak dan ibu angkat. Bagaimana anak tersebut tahu yang mana orang tua sebenarnya? Suatu struktur sosial kompleks terjadi akibat aplikasi teknologi reproduksi tanpa pertimbangan cermat.
Cerita diatas akan semakin menjadi rumit dan semakin sulit dimengerti apabila struktur sosial dalam suatu keluarga atau kelompok hasil dari kloning. Dengan kloning, tidak hanya orang tua anak yang tidak jelas bahkan saudaranya dan sanak keluarga yang semakin tidak jelas. Ditambah lagi Bryan (1998) bahwa Kolata (1997) menyebutkan beberapa ahli reproduksi akan membuat embrio-embrio identik dari sel yang diambil dari embrio manusia tahap awal, pada tahap perkembangan embrio tertentu sebagian akan diimplantasikan dan sebagian lagi dibekukan (diawetkan) untuk digunakan kemudian. Ditambahkan bahwa akan dibuat kembar dua identik, kembar tiga atau kembar empat, dan memungkinkan untuk dibuat kembar dengan umur yang berbeda.
Lebih lanjut dikatakan bahwa beberapa ahli tidak keberatan apabila embrio monozigot (embrio yang dibuat dari satu sel telur) tersebut digunakan pada waktu yang sama. Akan tetapi muncul pertanyaan serius apakah seorang anak yang secara genetik identik lahir beberapa tahun kemudian masih saudara kandung? Bagaimana status moral anak tersebut?
Tanpa memahami prinsip dasar teknologi kloning rupanya sulit untuk memperdebatkan aspek sosial, etika, dan moral. Olehnya itu dalam artikel ini, penulis akan mencoba memberikan pemahaman dasar mengenai kloning dan beberapa point argumen yang berhubungan dengan etika, sosial, dan moral tersebut.
Bioteknologi Reproduksi
Teknik kloning embrio yang umum dikerjakan adalah transfer inti, yaitu menfusi inti yang diambil dari sel berbagai jaringan dengan sel telur tak berinti (Willadsen, 1986; Tsunoda, 1987).
Sel telur tak berinti diperoleh dengan mengeluarkan kromosom, atau juga dapat diperoleh dengan mengeluarkan pronuklei sel telur sesaat setelah fertilisasi. Smith dan Wilmut (1989) mengeluarkan inti dari sel telur dengan mengangkat seperempat bagian sitoplasma sel telur. Inti donor ini selanjutnya di masukkan ke perivitelin space, ruang kosong antara zona pelusida (pembungkus sel telur) dan sitoplasma, kemudian difusi dan diaktivasi dengan rangsangan listrik, virus atau secara kimiawi (Cheong et al., 1993; Prather, 1996).
Pada transfer inti, ooplasma sel telur diyakini berperan memprogram ulang atau menyusun kembali inti donor, dan selanjutnya mampu mengatur pertumbuhan embrio. Pemahaman tentang proses ini masih kurang lengkap, tetapi prinsip dasar mekanismenya sedang diklarifikasi.
Pada transfer inti, blastomer adalah inti yang umum digunakan, selain inti yang diperoleh dari sel fetus maupun dari sel dewasa. Inti blastomer embrio tahap 2-4 sel memiliki totipotensi, atau mampu merangsang pertumbuhan embrio dimana karakterisasi ini mungkin dibutuhkan untuk ekspresi khususnya gen termasuk non-spesifik alkalin pospat, Tnap, transkripsin faktor, Oct3/4, proto-oncogen, c-kit, dan DNA metiltransferase, Mt (Urven et al., 1993). Namun pada mammalia umumnya, blastomer digunakan pada tahap 8-16 sel atau lebih awal karena tahap selanjutnya kurang memiliki totipotensi.
Aplikasi Kloning
Walaupun masih sangat kompleks, kloning telah dikomersilkan pada tingkat peternakan, dimana ratusan anak sapi telah lahir (Bondioli, 1993). Suatu gen manusia untuk terapi protein, telah mampu diproduksi melalui ternak transgenik yang pertama kali dihasilkan pada domba yang diberi nama “Polly” (Nature, 1997). Hal ini terlihat bahwa kloning dapat dijadikan industri biologis yang dapat dimanfaatkan sampai pada pembuatan obat-obatan untuk keperluan manusia.
Keberhasilan pertumbuhan embrio pada sapi hasil klon kelihatannya kurang baik dibanding dengan embrio hasil IVF. Renard (1998) melaporkan bahwa sekitar 60% kloning blastomer berhasil bunting, dibandingkan 78% dengan IVF.
Selanjutnya Heyman et al. (1995) dan Lavoir et al. (1997) mengatakan bahwa kloning embrio sapi dari inti blastomer dibandingkan dengan IVF memiliki banyak heterogenous RNA, banyak sel-sel mati, tingkat kematian embrio tinggi, memperlihatkan bahwa program ulang atau penyusunan kembali DNA tidak sempurna.
Sebaliknya Kruip dan den Daas (1997) mengumpulkan 30 set data dari beberapa jenis sapi di seluruh dunia, memperlihatkan bahwa tingginya tingkat kenaikan berat lahir, distokia, dan kematian prenatal anak sapi hasil IVF dibandingkan dengan hasil transfer inti.
Kesuksesan kloning pada sapi diperoleh dengan menggunakan inti inner cell mass embrio. Sims dan First (1994) berhasil mentransfer 34 embrio tahap blastosis ke 27 resipien, menghasilkan 13 kebuntingan dan 4 lahir normal. Pada penelitian lain, dari 948 transfer inti menghasilkan 5% blastosis, 26 embrio tersebut ditransfer menghasilkan 6 kebuntingan. Dua abortus pada umur 60 hari kebuntingan, 2 lahir hidup, dan 2 lagi lahir mati. Seluruh yang hidup akhirnya mati setelah 15 hari kemudian. Pada domba, Smith dan Wilmut (1989) mentransfer inti blastomer 35% tumbuh sampai blastosis dan menghasilkan kebuntingan 4 dari 22 resipien (18%). Embrio yang diklon dengan sel batang tidak mampu tumbuh secara normal, adapun yang mampu tumbuh sampai blastosis lebih rendah dari 17%. Dari 34 blantosis yang ditransfer ke 7 resipien berhasil lahir 8 ekor, 3 mati sebelum lahir, 2 mati sesaat setelah lahir dan yang lainnya pada umur10 hari (Campbell et al., 1996). Lebih lanjut Wilmut et al. (1997) mengatakan bahwa kelahiran Dolly diikuti dengan kematian 62% (12/21) fetus, sangat jauh dibandingkan kematian akibat kawin alam hanya 6%.
Perkembangan lebih lanjut tentang teknik klon ini diperlihatkan dengan mampunya mengklon ulang embrio. Dengan teknik re-klon tersebut pada sapi telah diperoleh lebih dari 4 generasi, jumlah klon embrio tumbuh dari 1 menjadi 54 embrio morula identik (Stice and Keefer, 1993). Lebih lanjut dikatakan bahwa semakin tinggi generasi klon, tingkat fusi semakin rendah, dan tingkat perkembangannya paling tinggi pada generasi pertama dan ketiga. Pada generasi pertama, kedua, dan ketiga beberapa anak sapi berhasil lahir, tetapi kegagalan kebuntingan atau kehilangan janin terjadi pada seluruh generasi sehingga calving rate-nya menurun dari 10% menjadi 2-3% antara generasi pertama dan generasi ketiga.
Kembar Manusia Monozigotik merupakan Proses Kloning Alami
Kembar monozigotik (MZ) pada manusia terjadi secara alami 4 setiap 1000 kelahiran sebelum stimulasi ovarium dan aplikasi IVF di tahun 1970-an (Edwards and Beard, 1997). Sedangkan kembar dizigotik (DZ-kembar dari 2 zigot) bukan sifat menurun dan frekuensinya 4-16 setiap 1000 kelahiran, tergantung ras atau bangsa dan umur (Derom et al., 1993). Kembar MZ mungkin terpisah pada tahap 2-sel atau pada tahap menjelang implantasi. Namun Hardy et al. (1996) mengungkapkan bahwa terkadang ada 2 embrio manusia terbentuk dalam satu zona pelusida atau suatu embrio blastosis terdapat didalam embrio blastosis yang lain. Johnson et al. (1995) bahwa kembar pada tahap pembelahan awal embrio mungkin merupakan suatu konsekuensi daripada totipotensi sel blastomer mamalia.
Tingginya kejadian kembar DZ pada manusia terjadi ketika menstimulasi ovarium dan menggunakan IVF pada saat aplikasi teknik ovulasi ganda dan emrbio transfer (Edwards and Beard, 1997). Namun, menurut Edwards dan Brody (1995) bahwa zona pelusida embrio menjadi keras setelah dilakukan superovulasi dan akan mengganggu proses hatching, dan menurut Hardy et al. (1996) juga menyulitkan pada saat splitting blastosis embrio.
Kembar MZ tidak berbeda jauh dengan kloning inti embrio tahap preimplantasi dan memperlihatkan perkembangan yang sama. Machin (1996) menulis “walaupun benar banyak kembar MZ secara penotipe sama, terdapat jumlah yang signifikan dimana pasangan kembar MZ baik penotipe maupun genotipe tidak identik. Hall (1996) mengomentari bahwa itu merupakan pengecualian terhadap asumsi bahwa pasangan kembar MZ secara genetik identik.
Status Sosial, Etika dan Moral Kloning Manusia
Kloning adalah mekanisme biologi reproduksi partenogenesis satu atau lebih sel, organisme, secara genetik identik yang berasal dari satu tetua. Walaupun reproduksi dengan kloning telah meluas dikerjakan pada tanaman dan industri biologi, prestasi besar Wilmut et al. (1997) yang mengklon sel mammal domba dewasa dan secara konsekuen tumbuh dan berkembang menjadi seekor domba. Teknologi reproduksi ini telah membuka kemungkinan mereplikasi manusia tanpa melalui proses seksual. Meskipun pada kenyataannya bahwa dengan kloning beberapa masalah klinik misalnya embriogenesis, karsinogenesis (asal dari kanker reproduksi), dan penggunaan jaringan embrio untuk transplantasi, boleh terpecahkan, namun penggunaan teknlogi kloning sebagai metode reproduksi pada manusia akan menimbulkan masalah serius khususya pada aspek religius dan sosial.
Kloning manusia mendapat debat sosial, etika dan moral yang serius, hal ini sangat beralasan karena kloning akan mengakibatkan variasi genetik menurun. Berarti bahwa memproduksi banyak klon mengakibatkan suatu pupolasi sama sekali serupa. Populasi yang demikian akan memudahkan terjangkitnya penyakit yang sama, dan suatu penyakit akan mudah menghancurkan populasi tersebut. Pupolasi dimana keragaman genetiknya kurang, dapat dengan mudah dihilangkan dengan suatu virus tunggal, walaupun tidak secara drastis, tetapi peluang terjadinya besar. Mari kita melihat contoh pada suatu negara yang memiliki persentase sapi hasil klon besar, suatu virus, khususnya strain dari penyakit 'mad cow' dapat berpengaruh terhadap seluruh populasi. Selanjutnya mengakibatkan bencana kekurangan makanan di negara tersebut. Resiko lain yang mungkin timbul adalah penularan penyakit melalui ternak transgenik. Jika suatu ternak memproduksi obat dimana susunya terinfeksi virus, ternak ini akan memindahkan virus tersebut ke pasient yang menggunakan obat tersebut.
Beberapa penelitian kloning manusia pada akhirnya membutuhkan untuk dicoba pada manusia. Kemampuan mengklon manusia menunjukkan bahwa anak hasil kloning merupakan hasil tempelan genetik. Inti dari perdebatan kloning sebenarnya adalah apabila embrio manusia dimanipulasi sebelum ditumbuhkan. Dengan manipulasi embrio, memungkinkan peneliti akan merubah kode genetika seorang bayi untuk menjadikan individu dengan warna mata tertentu atau genetik yang tahan dengan penyakit tertentu atau dengan model yang lain sesuai dengan yang dikehendaki.
Klon pada domba dan kera menggunakan sel dewasa telah dilaporkan keberhasilnya. Keberhasilan mengklon primata, satu lagi pemacu debat masalah etika, sosial dan moral, karena semakin mendekatkan kemungkinan mengklon manusia. Presiden Clinton dalam hal ini juga telah mengeluarkan larangan dan tidak memberikan dana untuk penelitian kloning manusia. Beberapa negara juga telah mengeluarkan larangan serupa. Namun bagi kelompok pendukung teknologi kloning ini berpendapat bahwa kloning dapat dikontrol untuk memberikan keuntungan seperti pembuatan obat-obatan baru dan perlakuan terhadap berbagai penyakit.
Kesimpulan
Teknologi kloning akan berpengaruh secara langsung dan meluas terhadap sendi kehidupan manusia di muka bumi, sehingga dipandang perlu agar informasi tentang masalah ini sedapat mungkin dapat sampai dan dimengerti oleh segenap umat. Kelihatannya beberapa peneliti akan tetap ingin mewujudkan penasarannya untuk mengetahui banyak aspek tentang kloning tidak terlepas dengan kloning manusia, sebaliknya agamawan, sosialis, politisi bertentangn dalam hal ini. Kloning dengan penanganan yang tepat mampu memberikan kesejahteraan umat manusia dibumi ini, sebaliknya jika salah, maka bencana akan menghadang.
Sumber:
Bondioli, K.R. (1993) Nuclear transfer in cattle. Molecular Reproduction and Development, 36, 274-275.
Bryan, E.M. (1998) A spare or an individual? Cloning and the implications of monozygotic twining. Human Reproduction Update, 4(6), 812-815.
Campbell, K.H.S., Mc Whir, J., Ritchie, W.A. and Wilmut, I. (1996) Sheep cloned by nuclear transfer from a cultured cell line. Nature, 380, 64-66.
Cheong, H.T., Takahashi, Y, and Kanagawa, H. (1993) Birth of mice after transplantation of early cell-cycle stage embryonic nuclei into enucleated oocytes. Biology Reproduction, 48, 958-963.
Derom, C., Derom, R., Vlietinck, R. et al. (1993) Iatrogenic multiple pregnancies in East Flanders, Belgium. Fertility and Sterility, 60, 493-496.
Edwards, R.G. and Beard, H.K. (1997) Oocyte polarity and cell determination in early mammalian embryos. Molecular Human Reproduction, 3, 863-905.
Edwards, R.G. and Brody, S.A. (1995) Principles and practice of assisted human reproduction. W.B.Saunders, Philadelphia, USA.
Hall, J.G. (1996) Twinning: mechanisms and genetic implications. Current Opinion Genetic and Development, 6, 343-347.
Hardy, K., Warner, A., Winston, R.M.L. and Becker, D.L. (1996) Expression od intracellular junctions during preimplantation development of the human embryo. Molecular Human Reproduction, 2, 621-632.
Heyman, Y., Degrolard, J., Adenot, P. et al. (1995) Cellular evaluation of bovine nuclear transfer embryo development in vitro. Reproduction, Nutrition and Development, 35, 713-723.
Johnson, W.H., Loskutoff, N.M., Plante, Y. and Betteridge, K.J. (1995) Production of four identical calves by the separation of blastomeres from an in vivo derived 4-cell embryo. Veterinary Record, 137, 15-16.
Kruip, Th.A.M. and den Daas, J.H.G. (1997) In vitro produced and cloned embryos: effects on pregnancy, parturition and offspring. Theriogenology, 47, 43-52.
Lavoir, M.C., Kelk, D., Rumph, N. et al. (1997) Transcription and translation in bovine nuclear transfer embryos. Biology of Reproduction, 57, 204-213.
Machin, G.A. (1996) Some causes of genotypic and phenotypic discordance in monozygotic twin pairs. American Journal of Medicine and Genetic, 61, 216-228.
News in Brief (1997) Polly joins Dolly in the record books. Nature, 388, 414.
Prather, R.S. (1996) Progress in cloning embryos from domesticated livestock. Proceeding of Society, Biology and Medicine, 212, 38-43.
Renard, J.P. (1998) Cloning in animal biology and research. In Shenfield, F. (ed) Societal, Medicine and Ethical Implications of Animal Cloning. European Commission Press, Brussels.
Smith, L.C. and Wilmut, I. (1989) Influence of nuclear and cytoplasmic activity on the development in vivo of sheep embryos after nuclear transplantation. Biology of Reproduction, 40, 1027-1035.
Stice, S.L. and Keefer, C.L. (1993) Multiple generational bovine embryo cloning. Biology of Reproduction, 48, 715-719.
Tsunoda, Y., Yasui, T., Shioda, Y. et al. (1987) Full term development of mouse blastomere nuclei transplanted into enucleated two-cell mouse embryos. Journal of Experimental Zoology, 242, 147-151.
Urven, L.E., Weng, D.E., Schumaker, A.L. et al. (1993) Differential gene expression in fetal mouse germ cells. Biology of Reproduction, 48, 564-574.
Willadsen, S. (1986) Nuclear transplantation in sheep embryos. Nature, 320, 63-65.
Wilmut, I., Schnieko, A.E., McWhir, J. et al. (1997) Viable offspring derived from fetal and adult mammalian cells. Nature, 385, 10-13.
Komentar