Junk DNA: Benarkah sebuah sampah?
Penulis: Anky Z
Apakah manusia yang merupakan makhluk yang unik, menarik, komplit, rumit dan banyak lagi ungkapan lain untuk menggambarkannya, hanya sebuah tempat “sampah” ?
Diketahui bahwa 97% dari genom manusia terdiri dari DNA yang tidak memiliki fungsi yang disebut juga “junk DNA” atau “DNA sampah”. Persentase tersebut bahkan dalam penelitian Venter dan rekan-rekan, yang ditulis dalam Jurnal Science tahun 2001 The Sequence of The Human Genom, disebutkan bahwa diperkirakan menjadi 98,9%.
Ada apa dengan “DNA sampah” ? istilah mengenai “junk DNA” atau “DNA sampah” memang banyak menarik perhatian. Setelah sejarah penemuan struktur DNA oleh Watson dan Crick, para ilmuwan telah berjalan jauh untuk menyingkap misteri tentang kunci kehidupan. Dengan berjalannya waktu, DNA terus menjadi perhatian. Salah satu bentuk perhatian yaitu, seperti langkah Human Genom Project menyelesaikan pemetaan kode genetik manusia.
Deoxyribonucleic Acid (DNA) adalah bahan dasar yang membangun seluruh ciri genetik mahkluk hidup, bisa juga disebut sebagai bahan dasar membuat makhluk hidup. Namun ternyata DNA pada sel Eukariota, yaitu sel yang memiliki inti tempat menyimpan DNA, termasuk juga manusia, memiliki banyak DNA yang tidak berfungsi.
Pada awal tahun 1970-an istilah ini mulai muncul, yang didahului dengan adanya penelitian pada sel eukariota akhir tahun 1960-an ditemukan banyaknya urutan DNA berulang, yang tidak membuat protein. Namun banyak dari ilmuwan biologi molekuler, genetik dan biokimia cenderung untuk menghindari kata “sampah”, mereka lebih memilih menyebutnya noncoding DNA atau DNA yang tidak menyandi. Noncoding DNA didefinisikan sebagai urutan atau bagian DNA yang tidak menyandi atau membuat protein.
Dalam jurnal Scientific American tahun 2003 The Unseen Genom: Gems among the Junk, Wayt Gibbs menyebutkan bahwa, teori Central Dogma yang telah ditemukan oleh ilmuwan genetika molekuler dan bioteknologi sejak tahun 50-an sangat mempengaruhi pandangan ilmuwan lain untuk mendefinisikan bahwa DNA yang fungsional adalah yang menyandi protein. Sehingga DNA yang tidak menyandi atau membuat protein dianggap tidak berfungsi.
Namun disamping pandangan yang menyebutkan bahwa output utama dari sebuah genom adalah untuk menghasilkan protein, terdapat kenyataan bahwa memang protein merupakan komponen penting dari sistem tubuh. Protein membangun struktur rambut dan kulit, membangun molekul yang membawa oksigen, membentuk hormon, membangun enzim yang dapat mencerna makanan sehingga ada masukan energi dalam metabolisme tubuh, dan banyak contoh lainnya yang menempatkan protein menjadi sesuatu yang sangat penting.
Tidak Menyandi
Pada DNA yang tidak menyandi atau noncoding DNA (mari kita menyebutnya seperti ini) diklasifikasikan menjadi tiga grup. Grup pertama adalah bagian RNA transkripsi yang tidak terpakai, grup yang kedua adalah Repetitive DNA atau urutan DNA berulang dan grup yang terakhir adalah Pseudogenes. Klasifikasi ini oleh Timothy G. Standish ditulis dalam Rushing to Judgment:
Functionality in noncoding or “junk DNA”
Intron adalah contoh dari noncoding DNA grup pertama. Intron adalah rangkaian DNA yang tidak menyandi, yang menyela rangkaian yang menyandi atau exon. Analogi sederhananya yaitu, Intron seperti sebuah iklan yang menyela suatu acara TV yaitu exon, namun uniknya, intron mempunyai durasi tayang lebih banyak dari keseluruhan waktu tayang acara TV tersebut.
Berbagai Pendapat
Berbagai penelitian mengenai noncoding DNA telah banyak dilakukan, begitu pula dengan berbagai pendapat dilontarkan, walau demikian belum ada yang mengetahui fungsi pasti dari DNA yang tidak menyandi ini. Terdapat pendapat dari para evolusionis bahwa noncoding DNA adalah peninggalan dari proses evolusi, sehingga tidak berfungsi. Dalam Selfish DNA: the ultimate parasite, Orgel dan rekan-rekannya berpendapat bahwa evolusi tidak terjadi pada tingkat fenotip atau penampakan fisik makhluk hidup tapi terjadi di tingkat molekuler.
Namun Brosius dan Gould yang tertarik membahas tentang Genomeclature, mempunyai pendapat lain tentang fungsionalitas noncoding DNA. Dalam prosiding The National Academy of Sciences, mereka menyebutkan bahwa, perlu suatu definisi dan klasifikasi yang lebih baik. Pendapat mereka adalah, bahwa noncoding DNA awalnya merupakan suatu DNA yang fungsional, namun kini didapati tidak berfungsi, tapi bukan tidak mungkin suatu saat berfungsi kembali.
Sejalan dengan banyaknya penelitian mengenai fungsi sesungguhnya dari noncoding DNA terus berlanjut. Terdapat sebuah hasil penelitian yang menarik, penelitian tersebut memperlihatkan bahwa pola-pola dari noncoding DNA menyerupai pola-pola linguistik pada bahasa manusia. Penelitian Mantegna dan rekan-rekannya dalam Linguistic features of noncoding DNA sequences tahun 1994 memuncul anggapan bahwa noncoding DNA juga “berbahasa”.
Sebagai contoh sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan buku berbahasa inggris, hitunglah jumlah setiap kata yang muncul pada buku tersebut. Akan didapatkan kata yang paling sering muncul, misalnya “the” yang muncul 2000 kali, lalu selanjutnya “a” yang muncul 1800 kali, lanjutkanlah daftar huruf tersebut, sampai pada akhirnya didapatkan kata yang hanya muncul satu kali, misalnya kata “horse”.
Lalu buatlah plot antara kemunculan kata terhadap jumlah kata tersebut muncul, maka akan didapatkan garis lurus. Dan menariknya, garis lurus ini didapatkan pada setiap bahasa manusia, baik bahasa inggris, jerman, cina dan lainnya. Garis lurus ini juga didapatkan pada noncoding DNA.
Penelitian mengenai kemungkinan “DNA language” atau “bahasa DNA” dari noncoding DNA, ternyata menarik juga perhatian seorang Professor Paul Davies dari Australian Center for Astrobiology, dari Macquarie University di Sidney. Yang meyakini bahwa DNA yang tidak menyandi ini berisi sebuah pesan dari mahluk asing atau luar angkasa. Dan manusia baru dapat mengetahui isi pesan tersebut apabila sudah memiliki teknologi yang memadai. Ahli Astrobiologi ini menyebutkan dalam majalah New Scientist bahwa, mahluk luar angkasa yang memiliki teknologi ratusan bahkan mungkin jutaan tahun lebih maju dari teknologi manusia, tidak akan memilih berkomunikasi lewat sinyal radio, melainkan dengan cara yang lebih canggih.
Terdapat penelitian tentang noncoding DNA yang melaporkan ada hubungannya dengan penyakit kanker. Haig Kazazian dari University of Pennsylvania menyebukan bahwa noncoding DNA mempunyai peran besar dalam proses didalam sel, seperti respon terhadap mutasi. Hal ini sejalan dengan pendapat yang menyebutkan bahwa, noncoding DNA bertugas sebagai pelindung kerusakan genetik dan mutasi yang membahayakan kestabilan genom.
Adapun Ting dan rekan-rekannya dalam A Binary model of repetitive DNA sequence in c.elegans, melakukan penelitian, yang hasilnya menunjukkan bahwa, noncoding DNA mempunyai peran penting dalam pengaturan ekspresi gen selama tahap perkembangan sel. Sedangkan penelitian lain mendapatkan bahwa, noncoding DNA ikut mengatur ekspresi gen fungsional pada saat pembentukan embrio.
Telah banyak penelitian yang perlahan-lahan mengungkap fungsi DNA yang dianggap sebagai sampah ini, dan mulai mengikis dugaan “kesampahannya”. Mungkin sekarang ini baru suatu permulaan, masih panjang perjalanan untuk menjawab semua keingintahuan dan pertanyaan.
Dengan memahami sekitar 3% DNA fungsional, telah memudahkan ilmuwan untuk mendiagnosa penyakit, membuat obat yang lebih baik, bahkan mengetahui cara menghindari penyakit. Tentu saja hal tersebut telah banyak mengubah perjalanan hidup manusia. Maka dengan berusaha memahami “sisanya” yang sekitar 97%, bukan tidak mungkin menjadi salah satu jalan, untuk mengetahui jawaban tentang kunci kehidupan.
Komentar